Wednesday 19 June 2013

Memaknai Puisi "Seperti Belanda"

(Karya Fikar W. Eda)
oleh : Zahrul Fadhi Johan

Karya sastra merupakan ekspresi perasaan, gagasan, ideologi, dan wawasan pengarang dalam membaca segala hal yang diciptakan dengan bahasa yang khas. Ekspresi tersebut sebagai perwujudan sesuatu yang dilihat oleh pengarang, baik indrawi maupun perasaan. Pengarang merespons secara aktif dan pasif serta menciptakan hasil kreatif. 

Bahasa sastra yang digunakan oleh pengarang hendaknya mempertimbangkan kesan-kesan simpati bagi pembaca,  agar pembaca dapat merasakan apa yang dirasakan pengarang. Oleh karena itu, pemilihan kata yang digunakan diharapkan mampu menyentuh sisi sensitivitas pembaca.

Makna sebuah karya sastra baru dapat dipahami setelah pembaca tahu sebelumnya bahwa karya sastra itu berdasarkan konvensi dan aturan tertentu (Teeuw, 1984:84). Pembaca karya sastra dianggap mempunyai kompetensi komunikatif jauh lebih banyak daripada sistem bahasa. Puisi dapat didefinisikan sebagai ungkapan kata-kata yang bermakna dan memiliki nilai estetik. Menurut Kamus Istilah Sastra (Sudjiman, 1984), puisi merupakan ragam sastra yang bahasanya terikat oleh irama, mantra, rima, serta penyusunan lirik dan bait. 

Salah satu karya sastra yang bersifat literature tampaknya terwakili oleh puisi Seperti Belanda yang dikarang oleh Fikar W.Eda. Penyair ini lahir di Takengon pada tahun 1966. Puisi ini menceritakan tentang perlakuan kasar, tidak wajar, dan penindasan yang dilakukan oleh pemerintahan pusat (Jakarta) terhadap rakyat Aceh. Pada bait pertamanya puisi ini berbunyi:

seperti Belanda
mereka atur siasat
membuat kami takluk
bertekuk lutut

Kata Belanda yang digunakan oleh penyair merupakan objek yang ditafsirkan sebagai pemerintahan pusat (Jakarta), yang mengatur strategi untuk menindas rakyat Aceh. Sama halnya seperti penjajahan yang dilakukan oleh kolonial Belanda terhadap rakyat Indonesia pada umumnya dan rakyat Aceh pada khususnya.

seperti Belanda
mereka rebut hati kami
dengan cahaya janji
sambil mengutip kitab suci

Bait ini penyair menyebut kata Kitab Suci. Kata ini ialah objek yang ditafsirkan sebagai simbol keagamaan. Ini bermakna bahwa pemberlakuan syariat Islam di Bumi Serambi Mekkah secara kaffah yang dijanjikan oleh pemerintahan pusat merupakan sebuah strategi untuk mengalihkan isu agar rakyat Aceh selalu manut terhadap pusat. Begitu halnya dengan penamaan Aceh sebagai negeri Serambi Mekkah, merupakan merek agamis yang disematkan untuk Aceh agar rakyat Aceh bangga dengan identitas keislamannya.

Strategi seperti itu tidak jauh berbeda dengan apa yang dilakukan oleh Snouck Hurgronje, seorang ilmuan Belanda yang memata-matai rakyat Aceh  dengan cara mengaku dirinya seorang muallaf dan terkesan sudah menjadi muslim yang taat. Peristiwa Snouck terjadi pada masa penjajahan kolonial Belanda di Aceh. Sehingga pada masa itu rakyat Aceh menyebutnya dengan sebutan Tgk Puteh. Dengan strategi seperti itulah, Belanda dengan mudahnya menaklukkan Aceh. Sungguh disayangkan, hal seperti ini tidak terlepas dari karakter masyarakat Aceh sendiri yang mudah luluh dengan isu religius.

seperti Belanda
mereka suguhi kami anggur
hingga kami mendengkur
lalu dengan leluasa
mengeruk perut kami
gas alam, minyak, emas, hutan,
sampai akar rumput bumi

Anggur merupakan buah-buahan spesial. Biasanya dikonsumsi oleh masyarakat ekonomi ke atas. Anggur juga biasanya dijadikan sebagai minuman keras yang diminum oleh para pecandu miras.  Dalam bait ini anggur bermakna sebagai otonomi khusus yang diberikan oleh pusat terhadap Aceh dengan perjanjian pembagian hasil alam Bumi Aceh akan dibagi 80%  untuk Aceh dan 20 % dikembalikan ke pusat, sehingga rakyat Aceh terlena dengan tipu muslihat dan pengkhianatan yang dilakukan pemerintahan pusat.

 Pusat mengeksploitasi  semua hasil alam yang ada di Aceh. Tidak banyak  hasil alam itu  yang dirasakan oleh rakyat. Semua itu dikembalikan ke Jakarta. Jika kita kembali merujuk kepada Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA), pembagian hasil alam Aceh telah diatur di dalamnya, tetapi berapa jumlah yang dihasilkan sampai sekarang belum bisa diangkakan. 

Para pejabat berfoya-foya. Sebagian hasil kekayaan alam Aceh dipergunakan untuk membangun pembangunan Kota Jakarta. Dengan kemegahannya, Kota Jakarta telah menjadi Kota Megapolitan. Apa yang didapatkan oleh Aceh? Rakyat Aceh terkapar dengan kemiskinan. Pelosok-pelosok desa susah ditembus  karena sulitnya transportasi, pendidikan masih sangat tertinggal dengan daerah-daerah lain di Indonesia.

seperti Belanda
mereka pun menghunus sangkur
dengan senapan siap tempur
rumah-rumah digempur
masjid, meunasah    
dibuat hancur

Hampir semua bait puisinya penyair mengulang kata-kata seperti Belanda. Dalam bait ini penyair menggunakan kata Sangkur. Saangkur adalah senjata tajam atau pisau yang ditempatkan di ujung senapan. Dalam puisi ini penulis menafsirkan sangkur sebagai pasukan keamanan yang dikirim ke Aceh. Pasukan itu adalah TNI dan Polri.

Mereka datang menggunakan peralatan siap tempur untuk menyerang para pemberontak yang dianggap sebagai separatis oleh pemerintahan pusat. Pemberontak itu adalah pasukan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang dipimpin oleh almarhum Tgk Hasan Tiro. Dampak dari itu semua dirasakan oleh rakyat Aceh. Mereka menyerang rumah-rumah warga sipil, meunasah,  dan juga masjid dengan  alasan bahwa tempat-tempat itu adalah  persembunyian  pemberontak..

melebihi Belanda    
mereka perkosa istri-istri kami
mereka tebas leher putra putri kami
mereka bunuh harapan dan cita-cita kami

Penjajahan di atas Bumi ini telah dihapuskan, tetapi mereka melebihi  imperialis. Pemerintah pusat merupakan kolonial baru bagi Aceh, sehingga dibait terakhir puisinya penyair mengungkapkan kata “Melebihi Belanda.” Penyair menggambarkan begitu dahsyatnya kebiadaban yang dilakukan pemerintah pusat terhadap Aceh. Mereka jadi terduga pemerkosa perempuan-perempuan yang telah bersuami. Mereka juga menebas leher generasi-generasi muda. Mereka juga membunuh harapan dan cita-cita anak bangsa. Di akhir puisinya penyair menjelaskan bahwa itulah Jakarta.

Sebuah karya sastra sangat besar pengaruh terhadap pembaca, sehingga pembaca juga dapat memberikan tanggapan terhadap karya sastra yang dihasilkan oleh pengarang. Melalui puisinya,  Fikar W. Eda coba mengkritisi fenomena sosial yang terjadi di Aceh pada masa konflik. Pada dasarnya fenomena tersebut bukan hanya terjadi pada masa konflik semata, setelah perjanjian perdamaian antara GAM dan pemerintah RI sampai saat ini, masih banyak hal-hal yang masih menganjal di Bumi Serambi Mekkah, baik itu konflik yang dipicu atas dasar agama maupun pertarungan politik antar elite. Melalui karya sastralah seorang pengarang mencoba untuk mengkritisi dan melakukan sebuah perubahan sosial dalam masyarakat.

Tulisan ini telah diterbitkan di Media Serambi Indonesia Minggu, 2 Desember 2012.http://aceh.tribunnews.com/2012/12/02/memaknai-puisi-seperti-belanda

0 comments: