Oleh: Tabrani. ZA Al-Asyhi
Pilkada Aceh sudah di ambang pintu, gerak-gerik kandidat
dan elit politik sudah mulai bermunculan, baik di iklan, baliho bahkan surat
kabar sering memuat calon-calon Gubernur, Bupati dan Wali Kota yang akan ikut berpartisipasi.
Momen-momen menjelang pilkada memang selalu membuat penggila politik dan
penggila kekuasaan memunculkan hasrat yang tinggi, dari yang punya duit hingga
yang tidak punya duit ramai-ramai ikut andil demi mencapai kekuasaan. Begitu
pun elemen-elemen organisasi mendadak bermunculan mendeklarasikan diri untuk
mendukung calon yang dijagokannya, bahkan elemen kurus tanpa penghuni pun
berkoar melalui media dengan janji bahwa masyarakatnya siap mendukung
sepenuhnya bagi calon yang ingin didukungnya, padahal hanya untuk mencari ‘gizi’
dari sang calon. Makelar-makelar politik memang tidak akan hilang pada
momen-momen pemilihan kepala daerah, mereka muncul pada momen tertentu lalu
menghilang ketika hajatan pilkada selesai.
Dengan kondisi terakhir Aceh sekarang, yang akhir-akhir
ini banyak terjadi tindakan-tindakan kriminal, mulai dari pengeboman yang
terjadi di Lamprit sampai penembakan yang merengut nyawa pada malam tahun baru
2012, kondisi perdamaian di Aceh mulai terusik kembali. Kemudian damai menjadi kata
yang sering disuarakan oleh berbagai pihak, apalagi Aceh. sebagai daerah bekas
konflik yang memiliki sejarah pelanggaran HAM yang panjang, tentu damai menjadi
harapan besar.
Menariknya, kata damai juga menjadi andalan bagi
politisi, mereka menariknya ke dalam ranah pilkada. Bagi pendukung, pengusung
penundaan pilkada, maka kata damai dipadankan dengan kata penundaan pilkada,
arti kata damai akan tercipta jika pilkada ditunda. Begitu juga dengan
pendukung pengusung pilkada jangan ditunda, kata damai akan lahir jika pilkada
tidak ditunda.
Begitulah, damai telah diseret ke dalam kepentingan
politik. Seolah-olah, Aceh damai ada di ujung lidah mereka. Namun demikian,
diera demokrasi, kebebasan berpendapat juga dijamin undang-undang. Sebagai
salah satu variabel yang hidup dan terus berkembang, demokratisasi (elektroral)
menjadi satu sudut yang dapat berpengaruh terhadap situasi Aceh, terutama elit
yang dapat menggerakkan mesin-mesin politiknya. Pilkada sendiri merupakan
Hajatan lima tahunan untuk menggantikan kepala daerah, di mana rakyat dapat
memilih calon kepala daerah sesuai dengan pilihannya, walaupun pemilih rasional
masih dapat diperdebatkan, politiking elit masih menjadi faktor utama dalam
memobilisasi pemilih.
Sifat ego dan kedaerahan yang melekat pada pemegang politik di Aceh sangat
berpengaruh kepada kondisi dan situasi Aceh menjelang pelaksanaan Pilkada Aceh
2012. Elite politik Aceh dihimbau untuk sekali lagi, mengedepankan moral
politik Aceh dalam memperlakukan Pilkada Aceh 2012 agar bisa berjalan sesuai
rencana dan tidak muncul permasalahan-permasalahan baru yang bisa merusak
perdamaian yang telah terbina di Aceh selama ini.
Bagaimanapun Pilkada Aceh 2012 masih menjadi momentum penting, karena
Pilkada tahap kedua pasca konflik Aceh yang berkepanjangan ini menjadi tahap
akhir dari periode transisi politik Aceh. Di samping itu para elite politik
Aceh harus menyadari dan memahami akan pentingnya menjaga perdamaian.
Untuk itu, seluruh elite politik Aceh harus berpijak pada komitmen
Nasionalisme yang senantiasa menjaga rasa persatuan dan kesatuan sesama anak
bangsa, dengan itu kedamaian dan keamanan di Aceh menjelang pilkada akan tetap
terjaga. Di sinilah dibutuhkan kearifan dan dedikasi yang bisa mencerminkan
keteladanan bagi masyarakat Aceh.
Kedamaian dan keamanan situasi Aceh menjelang pilkada sangat diharapkan oleh
seluruh masyarakat Aceh, karena masyarakat sudah lelah dengan ulah para elite
politik yang hanya mengumbar janji-janji dan kepentingan pribadi dan
kelompoknya. Masyarakat berharap dan menantikan pemimpin Aceh yang benar-benar
berjiwa kerakyatan, yang bisa membawa kemajuan bagi kehidupan masyarakat Aceh
yang lebih sejahtera dan berkeadilan, dan bukan pemimpin yang dilahirkan
karena, kedaerahannya, kekokohannya, atau numpang tenar dari ketokohan
pendahulu dan pemimpin kelompoknya dahulu, akan tetapi harus pemimpin yang mempunyai
intelektual, dedikasi serta mengerti tentang hukum dan perundang-undangan yang
berlaku.
Rakyat Aceh sekarang merindukan perubahan hidup, mereka membutuhkan hal-hal
yang nyata seperti pembangunan, masa depan anak cucunya, kesehatan, ekonomi
yang baik, dan sebagainya. Rakyat Aceh sudah kenyang dengan konflik yang
berkepanjangan yang pernah terjadi di Aceh, serta rakyat sangat tidak
mengharapkan perdamaian di Aceh hancur karena konflik kepentingan dan kelompok
yang diperlihatkan oleh para elit di Aceh, sehingga sejarah konflik di Aceh
akan terulang kembali. Jangan sampai para elite yang sedang hanyut dalam
pusaran konflik kepentingan kekuasaan, sehingga melupakan tentang kebutuhan
riil masyarakat, di mana masyarakat sangat membutuhkan ketenteraman dan
kedamaian.
Oleh sebab itu, semoga para elite-elite dan para pengambil kebijakan
berkaca diri, merenung, bahwa kekuasaan bukanlah segala-galanya (QS. Al-Kahfi:
49). Ada yang lebih utama dari sekedar kekuasaan dan uang, yaitu kepentingan
rakyat dan masa depan Aceh yang lebih bermartabat sesuai dengan identitas Aceh
yaitu Nanggroe Serambi Mekkah. Allah SWT mengajarkan dan mengingatkan kita
untuk tetap bersatu, sebagaimana firman-Nya dalam Al-Qur`an surat Ali
Imran ayat 103.
Saatnya semua pelaku politik di Aceh untuk bisa saling menghormati dan
menghargai sesama peserta politik dan bukan sebaliknya bagaimana menjatuhkannya
itu adalah sifat yang bukan ksatria. Biarkan masyarakat atau rakyat yang
menentukan pilihannya sendiri tanpa adanya intimidasi dan paksaan dari mana pun
itu baru namanya demokrasi. karena kedamaian Aceh adalah milik kita bersama.
Penulis adalah
Peneliti pada SCAD Independent, dan Mahasiswa Pascasarjana Magister Islamic
Studies Universitas Islam Indonesia Yogyakarta, Alumni Dayah Darussalam Labuhan
Haji Aceh.
Tulisan ini telah
di muat dan dipublikasikan oleh Harian Serambi Indonesia pada 27/01/2012
0 comments:
Post a Comment