Wednesday, 15 January 2014

Menyoal Biaya Pelantikan Wali Nanggroe

Oleh : Zahrul Fadhi Johan
Beranjak dari pernyataan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) Adnan Beuransyah dari Fraksi Partai Aceh (F-PA) yang mengusulkan kepada pemerintah Aceh mengalokasikan anggaran Rp 50 Miliar dalam RAPBA-P 2013 untuk kepentingan pengukuhan Wali Nanggro IX yang dijadwalkan Desember mendatang (Serambi Indonesia 02/10/2013).
Pernyataan terhadap pengusulan anggaran tersebut telah menimbulkan bermacam-ragam  reaksi dan komentar oleh masyarakat Aceh diberbagai media sosial, mulai dari caci-makian, hingga sumpah serapah pun di keluarkan terhadap Pemerintah Aceh dan DPRA.
Bukan tanpa alasan reaksi-reaksi itu muncul dari kalangan masyarakat, baik kalangan kelas bawah maupun kalangan kelas menengah keatas. Cobalah menilik sejenak kehidupan perekonomian rakyat Aceh dewasa ini, apakah wajar DPRA mengusulkan dana sebesar Rp 50 Miliar hanya untuk pengukuhan seorang Wali Nanggroe?.
Rakyat Aceh hari ini masih terkapar dalam kemiskinan, lapangan pekerjaan bagi buruh tidak disediakan sesuai dengan kebutuhan rakyat. Rakyat kecil yang tidak bermodal hanya mencari penghasilan untuk memenuhi kebutuhan hidup dengan cara bertani, berkebun dan nelayan, bahkan ada yang meronta-ronta dan mengemis-ngemis di persimpangan jalan.
Usulan anggaran sebesar itu telah melakui hati rakyat Aceh. Seakan-akan Pemerintah Aceh dan DPRA telah mengiris dan mencabik-cabik daging yang ada ditubuh rakyat. Sejatinya Pemimpin ialah tokoh yang menjadi pembasuh luka bagi rakyatnya, bukanlah sebagai penabur garam terhadap luka yang telah ada.
Rakyat manakah yang tidak galau, ketika wakil rakyat mengusulkan anggaran dana milik rakyat sebesar Rp 50 M hanya untuk acara pelantikan seorang Malik Mahmud yang telah diangkat menjadi pemangku Wali Nanggroe Aceh. Padahal, dulunya Pemerintah Zikir sendiri, semasa berkampanye pernah mengeluarkan janji politiknya “jika kami terpilih sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur Aceh, maka rakyat Aceh akan diberikan uang sebesar 1 Juta per/KK setiap bulannya”.
Janji hanyalah tinggal janji, rasanya rakyat kembali tertipu oleh gombalan para penguasa yang berkuasa ditanah peninggal Sultan Iskandar Muda. Rakyat sekarang ini hanya bisa menyaksikan sinetron live kehidupan mewah para penguasa yang berfoya-foya dengan dana rakyat. Janji 1 Juta/KK realisasinya hanyalah selembar bendera Bintang Bulan.
Lihatlah bagaimana kemegahan bangunan istana Wali Nanggroe yang menghabiskan dana lebih kurang sebesar Rp 36 Miliyar, lihat juga perjalanan dinas dalam dan luar Negeri para Penguasa dan Wakil Rakyat, belum lagi studi banding keluar Negeri yang sama sekali tidak ada faedahnya bagi kepentingan dan kesahteraan rakyat.
Rasanya hari ini rakyat Aceh kembali ditipu dan di zhalimi untuk kesekian kalinya oleh para penguasa yang tidak bertanggung jawab. Dulu, sewaktu kolonialisme Belanda menguasai Tanah Rencong, rakyat Aceh ditipu oleh kaum imperialis Belanda, sedangkan sewaktu konflik antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan pemerintah Republik Indonesia (RI), rakyat ditipu oleh Pemerintah Pusat, tetapi yang lebih menyakitkan hari ini bangsa Aceh kembali ditipu oleh bangsanya sendiri, yaitu mereka yang sekarang sedang duduk di kursi Eksekutif dan Legeslatif dari tingkat Daerah hingga Kabupaten-kota.
Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) tidak seharusnya mengusulkan anggaran dana segitu besar hanya untuk pengukuhkan seorang Malik Mahmud sebagai Wali Nanggroe Aceh, sedangkan posisi Malik Mahmud sendiri sebagai Wali Nanggroe masih diperdebatkan oleh sebagian kelompok di Aceh.
Dengan usulan dana sebesar itu, rakyat dapat apa? apakah alasan DPRA mengusulkan anggara itu hanya untuk mengangkat harkat, derajat dan martabat Bangsa Aceh dimata dunia? Alasan tersebut sama sekali tidak logis, merujuk pada pelantikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono atau yang akrab disapa SBY, pada tahun 2009 hanya menghabiskan dana sebesar Rp 300 Juta, sedangkan pelantikan Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta Jokowi-Ahok pada tahun 2012 lalu, hanya menghabiskan biaya sebesar Rp 500 Juta. Berarti mau dibawa kemanakah Rp 50 Miliyar?
Untuk mengangkat harkat, derajat dan martabat Bangsa Aceh, bukanlah dengan cara mengeluarkan dana sebesar Rp 50 Miliyar sekedar untuk melakukan acara seremonial semata, seperti melaksanakan acara kenduri (pesta) tujuh hari tujuh malam, dan mengundang para tamu-tamu kehormatan dari dalam dan luar Negeri.
Rakyat  Aceh tidak membutuhkan pesta akbar, rakyat tidak membutuhkan kedatangan tamu-tamu Agung dari dalam dan luar Negeri, yang dibutuhkan rakyat sekarang hanyalah kesejahteraan dan kenyamanan dalam menjalani kehidupan keseharian.
Cobalah pemerintah bersikap arif dan bijak dalam hal ini, kalaupun pemerintah Aceh ingin mengangkat harkat, derajat dan martabat bangsa Aceh di mata dunia. Bukanlah dengan cara seperti itu, alokasikanlah anggaran sebesar itu kepada generasi muda Aceh yang ingin melanjuti pendidikan, baik didalam maupun diluar Negeri yang sesuai dengan bidang dan keahlian yang dibutuhkan Aceh hari ini, hingga nantinya harkat, derajat dan martabat bangsa Aceh tidak perlu dinaikkan-naikkan, secara otomatis harkat, derajat dan martabat bangsa Aceh terangkat dengan sendirinya oleh sebab kecerdasan generasi muda bangsa Aceh itu sendiri.
Selain itu dana tersebut seharusnya juga dapat dialokasikan untuk membangun struktur dan infrastruktur yang selama ini belum memadai, seperti halnya pembangunan jalan di daerah-daerah terpencil yang masih susah ditembusi, membangun rumah kaum dhuafa, membangun rumah fakir miskin, rumah masyarakat korban konflik dan program lainnya yang bersifat pro-rakyat, bukanya menyakiti dan mencabik-cabik hati rakyat.
***Artikel ini telah dipublikasi pada kolom Opini web AJNN, http://www.ajnn.net/2013/10/menyoal-biaya-pelantikan-wali-nanggroe/

0 comments: