Oleh : Zahrul Fadhi Johan
(catatan 4 Oktober 2014)
Perang opini antara Pemerintah
Pusat dan Aceh semakin hari semakin menghangatkan pemberitaan di media massa.
Pemerintah Pusat melalui Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Gamawan Fauzi meminta
elite politik Aceh untuk berbesar hati menerima aturan turunan Undang-Undang Pemerintahan
Aceh (UUPA) versi Pusat, sedangkan elite Aceh tetap bertahan dengan usulan
turunan UUPA sesuai dengan amanah Memorandum
of Understanding (MoU) Helsinki di
Finlandia (15/08/2005).
UUPA merupakan
undang-undang No 11 Tahun 2006 yang disahkan pada 1 Agustus 2006 oleh Presiden
Republik Indonesia, sampai sekarang UU ini masih diperdebatkan terhadap
turunannya. Turunan yang di maksud adalah Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) kewenangan
pemerintah, RPP Minyak dan Gas (Migas), serta Rancangan Peraturan Presiden
(Perpres) tentang peralihan kantor Badan Pertahanan Nasional (BPN) di Aceh.
Dalam perspektif Pemerintah
Pusat, Aceh akan diberikan 11 wewenang, sedangkan daerah lain pada umumnya hanya
diberikan 7 wewenang, ini menandakan bahwa, Aceh diberikan keistimewan yang
berbeda dengan daerah lain. Wewenangan Hak Guna Usaha (HGU), dan Hak Guna
Bangunan (HGB) merupakan dua kewenangan besar yang akan disepakati oleh Pemerintah
Pusat. Adapun pembagian hasil minyak bumi dan gas lepas pantai, Pemerintah pusat
menawarkan kepada Aceh untuk sama-sama mengelola di 12-200 mil laut, sedangkan
elite Aceh meminta pengelolaan itu sepenuhnya di kelola oleh Aceh.
Perspektif pemerintah
Pusat itu ditolak mentah oleh elit Aceh. Abdullah Saleh selaku ketua Badan
Legislatif DPR Aceh, mewakili elite Aceh menyakatan “aturan perlimpahan
kewenangan pertanahan versi pusat masih terdapat sejumlah kekurangan, semisal; soal
kewenangan di Bidang Pertanahan BPN, kedua belah pihak telah sepakat diserahkan
menjadi perangkat Aceh sesuai amanah MoU Helsinki yang dituangkan dalam UUPA,
akan tetapi kewenangan di bidang pertanahan kalau hanya diberikan 11 wewenang
sangat tidak sesuai dengan perangkat yang besar yang telah disepakati dari awal.
Setidaknya Aceh diberikan minimal 17 wewenang dari 21 yang sudah dirancang oleh
Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA)”.
Pernyataan kontradiktif
antara kedua belah pihak sangat tidak elok untuk diperdebatkan, mengingat masa
jabatan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) akan segera berakhir 20 Oktober
mendatang, dan akan digantikan oleh Joko Widodo selaku Presiden baru terpilih
saat Pilpres 9 Juli yang lalu, sementara SBY sendiri adalah salah satu aktor
utama perdamaian Aceh. Sebelum mengakhiri masa jabatannya, SBY masih berutang
janji terhadap rakyat Aceh untuk menyelesaikan segala sesuatu yang berhubungan
dengan UUPA dan perdamaian Aceh.
Perdamaian
Sebagai Produk Politik.
Menilik kembali
fenomena yang telah terjadi di Aceh pra-perdamaian MoU Helsinki antara kedua
belah pihak (Aceh dan Pusat), konflik panjang yang telah menewaskan ribuan
nyawa di Aceh seakan dilupakan begitu saja. Rakyat Aceh telah membuka diri dan
berbesar hati untuk memaafkan tanpa menaruh dendam atas segala tindakan yang
dilakukan Pemerintah Pusat terhadap Aceh sewaktu konflik.
Dalam hal ini,
pemerintah Pusat tidak perlu menyamakan Aceh dengan daerah lain di Indonesia.
Rakyat Aceh telah berjuang dengan cara mengangkat senjata untuk melawan segala
penindasan dan ketimpangan sosial yang terjadi di Aceh selama bertahun-tahun
untuk mendapatkan keadilan, sedangkan daerah lain pada umumnya hanya manut
terhadap perlakuan ketidakadilan Pemerintah Pusat.
Tanpa mengecilkan
peranan daerah lain “jangan lupa” Aceh adalah daerah modal terbentuknya
Republik ini. Seandainya Aceh itu berdiri dengan kaki sendiri, tanpa ada
topangan dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), penulis rasa Aceh jauh
lebih maju dan masyarakatnya lebih sejahtera dibandingkan sekarang. Namun,
semua itu hanyalah hayalan semata, Aceh sudah terlanjur bergabung dengan NKRI,
hal ini tidak perlu diratapi dan disesali.
Namun demikian, Apa
yang telah didapatkan oleh Aceh?, perdamaian hanyalah produk politik untuk
meredam kemarahan rakyat Aceh. UUPA yang ditawarkan Pusat tidak sesuai dengan
nota kesepakatan perdamaian di Helsinki, hingga diakhir jabatan Presiden SBY,
turunan UUPA masih saja di cekal dengan alasan Aceh terlalu banyak meminta.
Resistensi
Elite Aceh
Kemunculan opini dari
pemerintah pusat menandakan ketidak seriusan pemerintah Pusat untuk
menyelesaikan permasalahan Aceh, dan terkesan Pusat mengulur-ngulur waktu sampai berakhirnya
pemerintahan SBY, jika sampai berakhir jabatannya turunan UUPA masih saja belum
disahkan sesuai dengan amanah MoU Helsinki, belum tentu Presiden baru mau
mempedulikan masalah Aceh. Dengan demikian dampak terbesarnya akan kembali lagi
ke rakyat Aceh.
Resistensi elite Aceh
terhadap Pusat membuat keharmonisan kedua belah pihak pun terus merenggang,
satu pihak merasa dikhianati dan dirugikan, dipihak satunya lagi merasa sudah
memberikan segala permintaan. Ini pertanda bibit-bibit konflik baru tumbuh di
Aceh, yang dikhawatirkan sembilan tahunan perdamaian hanya akan menjadi
kenangan, sementara kesejahteraan rakyat tinggal diawang-awang.
Dengan demikian, supaya
permasalahan ini tidak berlarut-larut dan tidak menimbulkan konflik baru antara
Aceh dan Pusat. Rakyat Aceh mengharapkan kepada Pemerintah Pusat agar tidak
melupakan isi kesepakatan MoU Helsinki, jangan coba rubah kesepakatan yang
telah ditandatangani dan dihapahimi bersama secara sepihak, kembalikan turunan
UUPA sesuai dengan kesepakatan awal yang telah dijanjikan, jangan khianati Aceh
dengan janji manis semata, “stop tipu-tipu” cukup sudah sejarah kelam
menghancurkan peradaban Aceh, jangan sampai Tanah Rencong kembali dibanjiri oleh
darah karena ketimpangan antara Pusat dan Aceh.
Sementa itu, bagi elite
Aceh yang sedang berkuasa jalankanlah roda pemerintahan sesuai dengan harapan rakyat,
demi menciptakan Aceh yang bermartabat, rakyat bisa hidup makmur, sejahtera dan
berjaya seperti dahulu kala. Perlu untuk disadari bersama, bahwasanya UUPA
bukanlah kitab suci yang diturunkan Tuhan yang dapat mensejahterakan umat manusia di Aceh, jangan jadikannya
sebagai kambing hitam atas ketidak sejahteraan rakyat selama ini, UU itu hanyalah
peraturan yang dilahirkan oleh segelintir orang setelah perdamaian, dengan
harapan semua peraturan yang tertuang di dalamnya dapat menjadikan Aceh sebuah daerah
mandiri, dalam artian Aceh berbeda dari daerah lain dengan bentuk pemerintahan sendiri
(self goverment) tanpa keluar dari ruang lingkup NKRI.
0 comments:
Post a Comment