Friday 10 October 2014

MENGGUGAT ELITIS ACEH

Jumat, 10 Oktober 2014

Oleh : Zahrul Fadhi Johan
(Catatan yang tercecer 4 Maret 2014)

Aceh merupakan salah satu daerah yang menyandang predikat istimewa yang disematkan oleh pemerintah pusat sebagaimana daerah lainnya seperti  Daerah Istimewa Jakarta, Yogyakarta dan Papua. Sejak tahun 2005 silam, setelah penandatangan MOU Helsinki, Aceh telah diberikan kemandirian dan kewenangan khusus untuk mengatur  pemerintahan sendiri (self government) yang telah tertuang dalam Undang-Undang Pemerintah Aceh (UUPA).

Salah satu implementasi dalam pemberlakuan UUPA adalah terbentuknya partai lokal Aceh sebagai peserta pemilu sejak tahun 2009 sampai sekarang. Partai lokal peserta pemilu legislatif merupakan representasi dari buah perjuangan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) selama berlangsungnya konflik Aceh, pembentukan itu bertujuan untuk menyalurkan aspirasi rakyat Aceh baik di tingkat Kabupaten-Kota maupun tingkat Provinsi.

Cita-cita dari perjuangan GAM dan rakyat Aceh berbanding terbalik dengan apa yang sedang terjadi di Aceh dewasa ini. Setelah terpilihnya Gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, wali kota dan wakil wali kota pada Pemilukada 2012 silam, yang mayoritas berasal dari partai lokal Aceh, hingga saat ini masih banyak rakyat Aceh yang belum merasakan kesejahteraan. Hal tersebut disebabkan karena faktor krisis ekonomi yang berkepanjangan.

Aliran dana dari pemerintahan daerah yang berjumlah Triliunan Rupiah hanya mengalir kepada sebagian kelompok tertentu, sedangkan kelompok dan golongan lain yang tidak dekat dengan pihak penguasa hanya dapat menyaksikan golongan mereka yang berfoya-foya dengan uang rakyat. Akibatnya masih banyaknya remaja di Aceh yang putus sekolah karena keterbatasan dana, banyaknya fakir miskin dan kaum dhuafa di pelosok-pelosok desa, harga sembako yang melambung tinggi di pasaran, dan masih banyak peminta derma di pingigiran jalan dan tempat umum, itu menjadi bukti kecil dari pengaruh krisis ekonomi dalam masyarakat.

Rakyat Dilanda Kegelisahan
Di sisi lain, Rakyat Aceh sedang dilanda kegelisahan. Rasa gelisah itu bermula dari pemadaman listrik bergiliran hingga ‘pemadaman’ nyawa anak manusia yang sengaja dipadamkan oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab terhadap nyawa seseorang secara bergiliran. Menjelang pemilu legislatif di bulan April yang akan datang, kondisi tidak aman sudah tampak di Aceh, konflik sesama saudara mulai berkobar di berbagai kabupaten-kota. Hal tersebut dipicu kerena adanya keinginan elitis dan orang-orang tertentu (non-elitis) untuk memperebutkan kursi empuk di meja Dewan Perwakilan Rakyat.

Mosca dan Pareto dua pakar ahli teori ilmu sosial moderen, mengemukan sebuah teori, “elitisme adalah sesuatu yang tidak bisa dihindari  masyarakat tanpa kelas yang disebut sebagai mitos, dan demokrasi tidak lebih dari sekedar pura-pura. Kemudian Mosca memodifikasi pandangan ini dengan mengatakan bahwa demokrasi dapat dilihat sebagai bentuk politik, dimana elite-elite bersaing untuk mendapatkan suara dari penduduk guna mengamankan legitimasi kekuasaan elite”  (dalam Parsons, 2008 : 251).

Sama halnya dengan apa yang diungkapkan Robert Michels (1915), yang mengembangkan pendekatan dalam studi partai politik di mana dia mengemukakan sebuah teori, bahwa ada ‘hukum besi oligarki’ yang berlaku didalam organisasi. Disepanjang waktu, elite-elite organisasi menciptakan kepentingan dan tujuan sendiri yang berbeda dengan kepentingan orang banyak dan tujuan anggota organisasi (2008 : 251).

Kasus pengeroyokan, penganiayaan, perusakan, penembakan hingga pembakaran atribut-atribut partai tertentu selama masa kampanye antar kelompok atau individu satu dengan yang lain yang menjatuhkan korban bahkan menewaskan nyawa anak manusia, sangat relavan dengan teori yang dikemukan oleh pakar-pakar tersebut. Demi kepentingan semata, seakan harga nyawa anak manusia di Aceh bak harga seekor nyawa ayam yang sedang berkokok di kandangnya. Ini membuktikan bahwa Negeri Syariat sedang dilanda penyakit kronis yang harus segera ditangani agar tidak menimbulkan malapetaka di kemudian hari.

Kemana Harus Mengadu?
Sungguh ironis bukan menatap Aceh dewasa ini. Krisis ekonomi ditambah dengan krisis moral adalah bagian dari kekronisan yang sedang dialami rakyat Aceh. Jika boleh rakyat bertanya, dimanakah peran ulama dan umara dalam mengatasi berbagai ‘penyakit’ yang sedang dialami rakyat? Apakah ulama hanya sekedar berdiam diri tanpa mengeluarkan fatwa-fatwa tertentu untuk melerai hal yang tidak diharapkan oleh rakyat kecil?

Bagaimana dengan peran umara, apakah rakyat harus mempercayai anda untuk menyelesaikan problematika tersebut? Tidak cukupkah nyawa-nyawa itu hilang di masa Aceh bergejolak dengan pemerintah pusat? Jika anda tidak sanggup memecahkan penyakit-penyakit itu, kepada siapa dan kemanakah rakyat harus mengadu? Ataukah rakyat hanya manut dan berdiam diri terhadap segala penindasan dan kesengsaraan yang sedang terjadi?

Bukankah ulama sebagai pewaris para Nabi, yang dapat membimbing umat manusia dari perbuatan yang keji dan mungkar, dan penasehat bagi para umara. Lantas bagaimana jika mereka berlaku zalim terhadap rakyatnya? Sedangkan umara itu sebagai pemimpi yang memberikan kesejahteraan dan berlaku adil terhadap rakyatnya. Dalam hal ini, apakah rakyat harus berdoa kepada Tuhan agar Negeri ini kembali dihancurkan seperti apa yang telah terjadi 10 tahun silam?

Rakyat Aceh semestinya belajar dari pengalaman sebelumnya dengan cara membuka kembali lembaran lama yang telah diteteskan oleh tinta sejarah. Aceh pernah dilanda perang saudara antara Ulama dan Ulee balang (akhir tahun 1945- awal 1946) atau sering disebut dengan sebutan perang Cumbok, salah satu faktor yang memicu perang tersebut disebabkan karena adanya keinginan kedua belah pihak untuk memperebutkan pengaruh kekuasaan dalam masyarakat di Aceh. Dengan pengalaman itu, semestinya kita dapat mengambil pelajaran yang sangat berharga, sehingga nantinya tidak lagi terjadi perang saudara jilid dua di Aceh.

3 comments:

Petualang Pengetahuan said...

Sangat mencerahkan Tgk. Zahrul Fadhi.. semoga mata hati dan naluri kita selalu terbuka dengan apa yg pernah diraih oleh bansa Aceh di masa yg lalu.. dan menjadikan Aceh lebih kontrukstif lagi dimasa yg akan datang baik dalam hal pembangunan kerakyatan serta jasmadi masyarakat terutama dalam segi bathin masyarakat.. semoga sejarah panjang masa lalu Aceh selalu menjadi spirit dalam membangun Aceh dimasa yg akan datang agar lebih baik lagi... bravo Tgk. Zahrul Fadhi Johan..

Petualang Pengetahuan said...

Sangat mencerahkan Tgk. Zahrul Fadhi.. semoga mata hati dan naluri kita selalu terbuka dengan apa yg pernah diraih oleh bansa Aceh di masa yg lalu.. dan menjadikan Aceh lebih kontrukstif lagi dimasa yg akan datang baik dalam hal pembangunan kerakyatan serta jasmadi masyarakat terutama dalam segi bathin masyarakat.. semoga sejarah panjang masa lalu Aceh selalu menjadi spirit dalam membangun Aceh dimasa yg akan datang agar lebih baik lagi... bravo Tgk. Zahrul Fadhi Johan..

Zahrul Fadhi Johan said...

terimakasih tgk Halim, semoga kita bisa menjadi bagian dari perubahan Aceh dimasa yang akan datang.