Wisata Gunung Bromo

di atas kawah gunung bromo bersama Ramzi,Kusam, dan Fauza bin Kamaruzzaman.

Pernyataan Sikap Somasi UU-PA

Solidaritas Mahasiswa Untuk Implementasi Undang-Undang Pemerintahan Aceh (Somasi UU-PA) melakukan aksi di Gedung DPRA Aceh dan Bundaran Simpang Lima Kota Banda Aceh (06/07/2009).


Pendakian Gunung Merbabu

Bersama Faiza Mufizah, Hasbi Asga,Imam Hendra Saputra,Agri Pramita Dan Fahrul Azmi.


Shoot

.......


Gunung Andong

.......

Friday, 24 July 2015

‘Ramzi Murziqin Menuju Pidie Satu (1)’ Bagaimana?

Jumat, 24 Juli 2015

Oleh: Zahrul Fadhi Johan


http://arulzorro.blogspot.co.id/Menjelang Pilkada Aceh 2017, desas-desus cikal-bakal calon yang akan maju sebagai Gubernur-Wakil Gubernur, dan  Bupati-Wakil Bupati/Wali Kota-Wakil Wali Kota mulai berhembus dan diperbincangkan. Baru-baru ini, saya membaca beberapa Media di Aceh sedang dihebohkan dengan kemunculan beberapa tokoh muda Aceh yang layak untuk memimpin Aceh dimasa yang akan datang.

Kemunculan beberapa nama itu (baca Serambi Indonesia/07/07/15) menurut saya itu merupakan penilaian subjektif dari bebeberapa orang atau beberapa golongan saja. Walaupun tanpa menafikan akan hal itu, mereka yang telah dimunculkan nama oleh Media adalah para pemuda yang memang layak dianggap sebagai tokoh Aceh di masa depan dengan berbagai keahlian yang dimiliki di bidangnya.  

Namun, secara pribadi saya juga memiliki penilaian secara subjektif yang menurut hemat saya, masih ada sejumlah pemuda-pemudi Aceh yang layak di tokohkan dan menjadi tokoh Aceh di masa depan berdasarkan; kepribadian, latar belakang pendidikan, pengalaman keorganisasian, respon sosial, dan lain-lain. Kaum muda Aceh masa depan dapat diibaratkat sebagai butiran mutiara yang terpendam di dasar lautan. Hanya saja, faktor hegemoni suatu kelompok yang sedang berkuasa di Aceh hari ini, membuat butiran-butiran mutiara Aceh itu tidak muncul kilauannya di permukaan, mereka seakan terhanyut oleh dominasi suatu golongan. Sekarang tiba lah waktunya, yang muda berbuat bukan hanya berbicara.

Oleh karenanya, salah satu diantara kesekian butiran yang terpendam itu, saya hanya ingin menyebut seorang saja sebagaimana saya sebutkan sebelumnya, yang merupakan penilaian subjektif dari saya. Nama itu tidak lain adalah Ramzi Murziqin. Sosoknya menurut saya merupakan pribadi yang memiliki jiwa kepemimpinan, dapat dibuktikan dengan berbagai pengalaman organisasi yang pernah ditekuni dan juga dipimpin olehnya, baik sewaktu bertikel mahasiswa, maupun sekarang yang sudah memililki titel Master Ilmu Politik.

Disamping itu, dari segi membangun komunikasi, ia memiliki kemahiran berkomukasi yang baik dengan berbagai pihak. Tanpa perlu diragukan juga, ia merupakan sosok yang relegius dan paham tentang nilai-nilai keislaman. Hal ini kembali dapat dibuktikan dengan latar belakang kesantriannya ketika mondok di Dayah Jeumala Amal Lung Putu Pidie Jaya,  Aceh. Di tambah dengan mengeyam pendidikan di bidang Syariah Perbandingan Hukum Islam di Fakultas Syariah Universitas Islam Negeri (UIN) ar Raniry Banda Aceh.

Ramzi yang lahir pada tahun 1986 di Sigli kab. Pidie Aceh, memilki visi dan misi yang bagus untuk membangun daerahnya. Dengan tanpa ragu lagi saya menyebut namanya sebagai salah satu pemuda yang layak ditokohkan dan akan menjadi tokoh di kemudian hari. Pun secara kebetulan saya mengenal sosoknya baik secara pribadi maupun keorganisasian. Maka dengan itu, sekali lagi saya tekankan ini merupakan subjektivitas dari saya. Menurut saya, Ramzi sudah selayaknya di usulkan menjadi salah satu calon kepala daerah/kabupaten-kota di pilkada Aceh yang akan datang.

Lebih khususnya lagi, saya ingin mengusulkan ia dicalonkan atau mencalonkan diri sebagai Bupati Pidie. Mengingat, dan menimbang ia tokoh muda yang masih berdarah segar dan patut  diandalkan dalam hal melakukan sebuah perubahan yang berarti untuk kabupaten Pidie yang saat ini jauh dari kata berkembang dan maju ke arah yang baik.

Bukan seperti yang ditunjukkan oleh pemimpin di Pidie hari ini, yang menjadikan kabupaten Pidie masuk salah satu kabupaten tertinggal dari beberapa kabupaten lain yang ada di Aceh. Sebagaimana dapat dikatakan bahwa pidie ialah kabupaten yang memproduksikan tokoh-tokoh bangsa yang cerdas dan berwibawa, tetapi karena pemimpin yang memimpin Pidie hari ini jauh dari harapan masyarakat Pidie sehingga membuat Pidie jauh tertinggal. Ini lah yang membuat saya mengusulkan Ramzi Murziqin untuk menuju Pidie Satu (1). Nah, bagaimana menurut anda?

Sunday, 18 January 2015

Hancurkan Benalu Dalam Hidupmu

Minggu, 18 Januari 2015

Oleh : Zahrul Fadhi Johan

***
Bahagia itu mudah, cukup meningalkan sesuatu yang membuat hatimu terbelenggu oleh sesuatu hal yang mengusik dihatimu sehingga membuat hati terasa galau tingkat dewa. Cinta, ruang dan waktu merupakan tiga indikator yang dimaksud. 

Cinta, inilah sesuatu yang ingin dimiliki oleh setiap individu, tetapi seperti apakah cinta yang dicari?, tentu, jawabannya adalah cinta yang dapat membuat hati bahagia kerena itulah sebenarnya cinta. 

Cinta yang dipaksa, ditekan, atau atas dasar kecemburuan, itulah sesuatu yang menghacurkan, akhirnya hidupmu hanya akan berada dibawah bayang-bayang kegelapan.

Lantas, bagaimana dengan ruang itu?, sebaik ruang adalah ruang yang teduh dan dapat membuat suasana hati nyaman dan sejuk. Ruang, bukanlah yang diberikan oleh seseorang yang membuat kamu hancur akan kegaduhan sipemilik ruang tersebut. 

Jika kamu masih berada dalam ruang yang gaduh itu, sesegerahlah menjauh dan tinggalkan ruang itu, jangan sampai kamu terpuruk dan hancur. Ingat, masih banyak ruang yang indah dan baik untuk berteduh, dan pastinya ruang tersebut akan membuat kamu nyaman dan sejuk.
  
Demikian juga halnya dengan waktu?, waktu akan terbuang percuma jika kamu hanya melayani sesuatu yang tidak penting, yaitu sesuatu yang kamu rasa itu adalah bahagian dari hidupmu. 

Namun tidaklah seperti hal tersebut diatas, terkadang sesuatu yang kamu anggap penting, sebenarnya itulah benalu dalam kehidupanmu, benalu itulah yang harus kamu singkirkan dan kamu hancurkan sehancur-hancurnya sampai menjadi sekeping arang, dan panaskanlah arang tersebut biar kamu dapat memanaskan kembali semangat hidupmu.   

Friday, 10 October 2014

MENGGUGAT ELITIS ACEH

Jumat, 10 Oktober 2014

Oleh : Zahrul Fadhi Johan
(Catatan yang tercecer 4 Maret 2014)

Aceh merupakan salah satu daerah yang menyandang predikat istimewa yang disematkan oleh pemerintah pusat sebagaimana daerah lainnya seperti  Daerah Istimewa Jakarta, Yogyakarta dan Papua. Sejak tahun 2005 silam, setelah penandatangan MOU Helsinki, Aceh telah diberikan kemandirian dan kewenangan khusus untuk mengatur  pemerintahan sendiri (self government) yang telah tertuang dalam Undang-Undang Pemerintah Aceh (UUPA).

Salah satu implementasi dalam pemberlakuan UUPA adalah terbentuknya partai lokal Aceh sebagai peserta pemilu sejak tahun 2009 sampai sekarang. Partai lokal peserta pemilu legislatif merupakan representasi dari buah perjuangan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) selama berlangsungnya konflik Aceh, pembentukan itu bertujuan untuk menyalurkan aspirasi rakyat Aceh baik di tingkat Kabupaten-Kota maupun tingkat Provinsi.

Cita-cita dari perjuangan GAM dan rakyat Aceh berbanding terbalik dengan apa yang sedang terjadi di Aceh dewasa ini. Setelah terpilihnya Gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, wali kota dan wakil wali kota pada Pemilukada 2012 silam, yang mayoritas berasal dari partai lokal Aceh, hingga saat ini masih banyak rakyat Aceh yang belum merasakan kesejahteraan. Hal tersebut disebabkan karena faktor krisis ekonomi yang berkepanjangan.

Aliran dana dari pemerintahan daerah yang berjumlah Triliunan Rupiah hanya mengalir kepada sebagian kelompok tertentu, sedangkan kelompok dan golongan lain yang tidak dekat dengan pihak penguasa hanya dapat menyaksikan golongan mereka yang berfoya-foya dengan uang rakyat. Akibatnya masih banyaknya remaja di Aceh yang putus sekolah karena keterbatasan dana, banyaknya fakir miskin dan kaum dhuafa di pelosok-pelosok desa, harga sembako yang melambung tinggi di pasaran, dan masih banyak peminta derma di pingigiran jalan dan tempat umum, itu menjadi bukti kecil dari pengaruh krisis ekonomi dalam masyarakat.

Rakyat Dilanda Kegelisahan
Di sisi lain, Rakyat Aceh sedang dilanda kegelisahan. Rasa gelisah itu bermula dari pemadaman listrik bergiliran hingga ‘pemadaman’ nyawa anak manusia yang sengaja dipadamkan oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab terhadap nyawa seseorang secara bergiliran. Menjelang pemilu legislatif di bulan April yang akan datang, kondisi tidak aman sudah tampak di Aceh, konflik sesama saudara mulai berkobar di berbagai kabupaten-kota. Hal tersebut dipicu kerena adanya keinginan elitis dan orang-orang tertentu (non-elitis) untuk memperebutkan kursi empuk di meja Dewan Perwakilan Rakyat.

Mosca dan Pareto dua pakar ahli teori ilmu sosial moderen, mengemukan sebuah teori, “elitisme adalah sesuatu yang tidak bisa dihindari  masyarakat tanpa kelas yang disebut sebagai mitos, dan demokrasi tidak lebih dari sekedar pura-pura. Kemudian Mosca memodifikasi pandangan ini dengan mengatakan bahwa demokrasi dapat dilihat sebagai bentuk politik, dimana elite-elite bersaing untuk mendapatkan suara dari penduduk guna mengamankan legitimasi kekuasaan elite”  (dalam Parsons, 2008 : 251).

Sama halnya dengan apa yang diungkapkan Robert Michels (1915), yang mengembangkan pendekatan dalam studi partai politik di mana dia mengemukakan sebuah teori, bahwa ada ‘hukum besi oligarki’ yang berlaku didalam organisasi. Disepanjang waktu, elite-elite organisasi menciptakan kepentingan dan tujuan sendiri yang berbeda dengan kepentingan orang banyak dan tujuan anggota organisasi (2008 : 251).

Kasus pengeroyokan, penganiayaan, perusakan, penembakan hingga pembakaran atribut-atribut partai tertentu selama masa kampanye antar kelompok atau individu satu dengan yang lain yang menjatuhkan korban bahkan menewaskan nyawa anak manusia, sangat relavan dengan teori yang dikemukan oleh pakar-pakar tersebut. Demi kepentingan semata, seakan harga nyawa anak manusia di Aceh bak harga seekor nyawa ayam yang sedang berkokok di kandangnya. Ini membuktikan bahwa Negeri Syariat sedang dilanda penyakit kronis yang harus segera ditangani agar tidak menimbulkan malapetaka di kemudian hari.

Kemana Harus Mengadu?
Sungguh ironis bukan menatap Aceh dewasa ini. Krisis ekonomi ditambah dengan krisis moral adalah bagian dari kekronisan yang sedang dialami rakyat Aceh. Jika boleh rakyat bertanya, dimanakah peran ulama dan umara dalam mengatasi berbagai ‘penyakit’ yang sedang dialami rakyat? Apakah ulama hanya sekedar berdiam diri tanpa mengeluarkan fatwa-fatwa tertentu untuk melerai hal yang tidak diharapkan oleh rakyat kecil?

Bagaimana dengan peran umara, apakah rakyat harus mempercayai anda untuk menyelesaikan problematika tersebut? Tidak cukupkah nyawa-nyawa itu hilang di masa Aceh bergejolak dengan pemerintah pusat? Jika anda tidak sanggup memecahkan penyakit-penyakit itu, kepada siapa dan kemanakah rakyat harus mengadu? Ataukah rakyat hanya manut dan berdiam diri terhadap segala penindasan dan kesengsaraan yang sedang terjadi?

Bukankah ulama sebagai pewaris para Nabi, yang dapat membimbing umat manusia dari perbuatan yang keji dan mungkar, dan penasehat bagi para umara. Lantas bagaimana jika mereka berlaku zalim terhadap rakyatnya? Sedangkan umara itu sebagai pemimpi yang memberikan kesejahteraan dan berlaku adil terhadap rakyatnya. Dalam hal ini, apakah rakyat harus berdoa kepada Tuhan agar Negeri ini kembali dihancurkan seperti apa yang telah terjadi 10 tahun silam?

Rakyat Aceh semestinya belajar dari pengalaman sebelumnya dengan cara membuka kembali lembaran lama yang telah diteteskan oleh tinta sejarah. Aceh pernah dilanda perang saudara antara Ulama dan Ulee balang (akhir tahun 1945- awal 1946) atau sering disebut dengan sebutan perang Cumbok, salah satu faktor yang memicu perang tersebut disebabkan karena adanya keinginan kedua belah pihak untuk memperebutkan pengaruh kekuasaan dalam masyarakat di Aceh. Dengan pengalaman itu, semestinya kita dapat mengambil pelajaran yang sangat berharga, sehingga nantinya tidak lagi terjadi perang saudara jilid dua di Aceh.

Saturday, 4 October 2014

INDONESIA "STOP TIPU-TIPU"


Oleh : Zahrul Fadhi Johan

(catatan 4 Oktober 2014)


Perang opini antara Pemerintah Pusat dan Aceh semakin hari semakin menghangatkan pemberitaan di media massa. Pemerintah Pusat melalui Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Gamawan Fauzi meminta elite politik Aceh untuk berbesar hati menerima aturan turunan Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA) versi Pusat, sedangkan elite Aceh tetap bertahan dengan usulan turunan UUPA sesuai dengan amanah Memorandum of  Understanding (MoU) Helsinki di Finlandia (15/08/2005).

UUPA merupakan undang-undang No 11 Tahun 2006 yang disahkan pada 1 Agustus 2006 oleh Presiden Republik Indonesia, sampai sekarang UU ini masih diperdebatkan terhadap turunannya. Turunan yang di maksud adalah Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) kewenangan pemerintah, RPP Minyak dan Gas (Migas), serta Rancangan Peraturan Presiden (Perpres) tentang peralihan kantor Badan Pertahanan Nasional (BPN) di Aceh.

Dalam perspektif Pemerintah Pusat, Aceh akan diberikan 11 wewenang, sedangkan daerah lain pada umumnya hanya diberikan 7 wewenang, ini menandakan bahwa, Aceh diberikan keistimewan yang berbeda dengan daerah lain. Wewenangan Hak Guna Usaha (HGU), dan Hak Guna Bangunan (HGB) merupakan dua kewenangan besar yang akan disepakati oleh Pemerintah Pusat. Adapun pembagian hasil minyak bumi dan gas lepas pantai, Pemerintah pusat menawarkan kepada Aceh untuk sama-sama mengelola di 12-200 mil laut, sedangkan elite Aceh meminta pengelolaan itu sepenuhnya di kelola oleh Aceh.

Perspektif pemerintah Pusat itu ditolak mentah oleh elit Aceh. Abdullah Saleh selaku ketua Badan Legislatif DPR Aceh, mewakili elite Aceh menyakatan “aturan perlimpahan kewenangan pertanahan versi pusat masih terdapat sejumlah kekurangan, semisal; soal kewenangan di Bidang Pertanahan BPN, kedua belah pihak telah sepakat diserahkan menjadi perangkat Aceh sesuai amanah MoU Helsinki yang dituangkan dalam UUPA, akan tetapi kewenangan di bidang pertanahan kalau hanya diberikan 11 wewenang sangat tidak sesuai dengan perangkat yang besar yang telah disepakati dari awal. Setidaknya Aceh diberikan minimal 17 wewenang dari 21 yang sudah dirancang oleh Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA)”.

Pernyataan kontradiktif antara kedua belah pihak sangat tidak elok untuk diperdebatkan, mengingat masa jabatan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) akan segera berakhir 20 Oktober mendatang, dan akan digantikan oleh Joko Widodo selaku Presiden baru terpilih saat Pilpres 9 Juli yang lalu, sementara SBY sendiri adalah salah satu aktor utama perdamaian Aceh. Sebelum mengakhiri masa jabatannya, SBY masih berutang janji terhadap rakyat Aceh untuk menyelesaikan segala sesuatu yang berhubungan dengan UUPA dan perdamaian Aceh.

Perdamaian Sebagai Produk Politik.
Menilik kembali fenomena yang telah terjadi di Aceh pra-perdamaian MoU Helsinki antara kedua belah pihak (Aceh dan Pusat), konflik panjang yang telah menewaskan ribuan nyawa di Aceh seakan dilupakan begitu saja. Rakyat Aceh telah membuka diri dan berbesar hati untuk memaafkan tanpa menaruh dendam atas segala tindakan yang dilakukan Pemerintah Pusat terhadap Aceh sewaktu konflik.

Dalam hal ini, pemerintah Pusat tidak perlu menyamakan Aceh dengan daerah lain di Indonesia. Rakyat Aceh telah berjuang dengan cara mengangkat senjata untuk melawan segala penindasan dan ketimpangan sosial yang terjadi di Aceh selama bertahun-tahun untuk mendapatkan keadilan, sedangkan daerah lain pada umumnya hanya manut terhadap perlakuan ketidakadilan Pemerintah Pusat.

Tanpa mengecilkan peranan daerah lain “jangan lupa” Aceh adalah daerah modal terbentuknya Republik ini. Seandainya Aceh itu berdiri dengan kaki sendiri, tanpa ada topangan dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), penulis rasa Aceh jauh lebih maju dan masyarakatnya lebih sejahtera dibandingkan sekarang. Namun, semua itu hanyalah hayalan semata, Aceh sudah terlanjur bergabung dengan NKRI, hal ini tidak perlu diratapi dan disesali.

Namun demikian, Apa yang telah didapatkan oleh Aceh?, perdamaian hanyalah produk politik untuk meredam kemarahan rakyat Aceh. UUPA yang ditawarkan Pusat tidak sesuai dengan nota kesepakatan perdamaian di Helsinki, hingga diakhir jabatan Presiden SBY, turunan UUPA masih saja di cekal dengan alasan Aceh terlalu banyak meminta.

Resistensi Elite Aceh
Kemunculan opini dari pemerintah pusat menandakan ketidak seriusan pemerintah Pusat untuk menyelesaikan permasalahan Aceh, dan terkesan  Pusat mengulur-ngulur waktu sampai berakhirnya pemerintahan SBY, jika sampai berakhir jabatannya turunan UUPA masih saja belum disahkan sesuai dengan amanah MoU Helsinki, belum tentu Presiden baru mau mempedulikan masalah Aceh. Dengan demikian dampak terbesarnya akan kembali lagi ke rakyat Aceh.

Resistensi elite Aceh terhadap Pusat membuat keharmonisan kedua belah pihak pun terus merenggang, satu pihak merasa dikhianati dan dirugikan, dipihak satunya lagi merasa sudah memberikan segala permintaan. Ini pertanda bibit-bibit konflik baru tumbuh di Aceh, yang dikhawatirkan sembilan tahunan perdamaian hanya akan menjadi kenangan, sementara kesejahteraan rakyat tinggal diawang-awang.

Dengan demikian, supaya permasalahan ini tidak berlarut-larut dan tidak menimbulkan konflik baru antara Aceh dan Pusat. Rakyat Aceh mengharapkan kepada Pemerintah Pusat agar tidak melupakan isi kesepakatan MoU Helsinki, jangan coba rubah kesepakatan yang telah ditandatangani dan dihapahimi bersama secara sepihak, kembalikan turunan UUPA sesuai dengan kesepakatan awal yang telah dijanjikan, jangan khianati Aceh dengan janji manis semata, “stop tipu-tipu” cukup sudah sejarah kelam menghancurkan peradaban Aceh, jangan sampai Tanah Rencong kembali dibanjiri oleh darah karena ketimpangan antara Pusat dan Aceh.


Sementa itu, bagi elite Aceh yang sedang berkuasa jalankanlah roda pemerintahan sesuai dengan harapan rakyat, demi menciptakan Aceh yang bermartabat, rakyat bisa hidup makmur, sejahtera dan berjaya seperti dahulu kala. Perlu untuk disadari bersama, bahwasanya UUPA bukanlah kitab suci yang diturunkan Tuhan yang dapat mensejahterakan  umat manusia di Aceh, jangan jadikannya sebagai kambing hitam atas ketidak sejahteraan rakyat selama ini, UU itu hanyalah peraturan yang dilahirkan oleh segelintir orang setelah perdamaian, dengan harapan semua peraturan yang tertuang di dalamnya dapat menjadikan Aceh sebuah daerah mandiri, dalam artian Aceh berbeda dari daerah lain dengan bentuk pemerintahan sendiri (self goverment) tanpa keluar dari ruang lingkup NKRI.

Tuesday, 25 February 2014

Sebenar Cinta Adalah Ketulusan Bukan Kecemburuan

Oleh : Zahrul Fadhi Johan

Setiap anak manusia memilki rasa cinta terhadap sesuatu, apakah cinta itu sedikit atau terlalu besar, yang jelas rasa itu pasti ada. Tidak sedikit insan yang mencintai memiliki rasa cemburu yang berlebihan terhadap sesuatu yang ia cintai, tetapi tidak begitu banyak  insan yang mencintai memilki ketulusan atas apa yang ia cintai.

Untuk mempererat sebuah hubungan antara satu insan dengan insan lainnya, tentunya harus dibangun sebuah kepercayan yang tinggi antara  satu sama lain. Cemburu atau mencemburui bukanlah sebuah alasan seseorang mencintai pasanganya. Cinta yang sebenarnya ialah rasa ketulusan yang diberikan seseorang terhadap pasangan yang ia cintai.

Rasa cemburu yang berlebihan pada akhirnya akan membuat hancur berantakan, baik itu dalam rumah tangga, pacaran, persahabat maupun dalam kehidupan keseharian dalam lingkungan masyarakat. Semisal, seorang suami terlalu mencemburui istrinya atau malah sebaliknya si istri mencemburui sang suami. Apa yang terjadi jika kecemburuan itu telah tertanam di kalbu?.

Perlahan, sikap saling menuduh yang tidak, dan yang bukan! sesuatu hal yang tidak pernah dilakukan oleh pasangannya, dan belum tentu apa yang dituduh itu benar terjadi adanya. Bisa dikatakan, bahwa; rumah tangga yang seperti itu tidak akan pernah harmonis, pada akhirnya bisa saja bubar seiring berjalannya waktu.

Tidak bedanya dengan hubungan anak manusia yang sedang merajut tali kasih dengan pasangannya?, tentunya tidak sedikit hubungan cinta yang dijalin kandas ditengah jalan, walau pada awalnya pasangan kekasih tersebut telah merencana sesuatu hal yang indah untuk kedepannya. Begitu juga dalam lingkungan masyarakat, antar tetangga yang satu dengan tetangga yang lainnya saling mencemburui, yakinlah dalam lingkungan tersebut tidak akan pernah terjadi komunikasi yang baik.

Rasanya, untuk menghilangkan sifat cemburu hanya dengan cara mencintai pasangan dengan sifat yang tulus, ketulusan merupakan obat penawar untuk mengobatinya. Memang, rasa ketulusan itu susah dimiliki oleh seseorang, terkadang seseorang sangat pandai menampilkan wajah tulusnya terhadap seseorang yang ia cintai, justru disebalik itu berbagai macam rasa ia simpan.

Rasa tulus tidak tampak begitu saja, karena ia lahir dan menetap dihati, bukan terlihat di wajah dan lisan semata. Marilah setiap insan mengedepankan sikap tulus untuk mencintai pasangannya dan bukan menanam sifat cemburu di hati, niscaya sifat cemburu itu akan menghancurkan diri sendiri.

Wednesday, 15 January 2014

Menyoal Biaya Pelantikan Wali Nanggroe

Oleh : Zahrul Fadhi Johan
Beranjak dari pernyataan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) Adnan Beuransyah dari Fraksi Partai Aceh (F-PA) yang mengusulkan kepada pemerintah Aceh mengalokasikan anggaran Rp 50 Miliar dalam RAPBA-P 2013 untuk kepentingan pengukuhan Wali Nanggro IX yang dijadwalkan Desember mendatang (Serambi Indonesia 02/10/2013).
Pernyataan terhadap pengusulan anggaran tersebut telah menimbulkan bermacam-ragam  reaksi dan komentar oleh masyarakat Aceh diberbagai media sosial, mulai dari caci-makian, hingga sumpah serapah pun di keluarkan terhadap Pemerintah Aceh dan DPRA.
Bukan tanpa alasan reaksi-reaksi itu muncul dari kalangan masyarakat, baik kalangan kelas bawah maupun kalangan kelas menengah keatas. Cobalah menilik sejenak kehidupan perekonomian rakyat Aceh dewasa ini, apakah wajar DPRA mengusulkan dana sebesar Rp 50 Miliar hanya untuk pengukuhan seorang Wali Nanggroe?.
Rakyat Aceh hari ini masih terkapar dalam kemiskinan, lapangan pekerjaan bagi buruh tidak disediakan sesuai dengan kebutuhan rakyat. Rakyat kecil yang tidak bermodal hanya mencari penghasilan untuk memenuhi kebutuhan hidup dengan cara bertani, berkebun dan nelayan, bahkan ada yang meronta-ronta dan mengemis-ngemis di persimpangan jalan.
Usulan anggaran sebesar itu telah melakui hati rakyat Aceh. Seakan-akan Pemerintah Aceh dan DPRA telah mengiris dan mencabik-cabik daging yang ada ditubuh rakyat. Sejatinya Pemimpin ialah tokoh yang menjadi pembasuh luka bagi rakyatnya, bukanlah sebagai penabur garam terhadap luka yang telah ada.
Rakyat manakah yang tidak galau, ketika wakil rakyat mengusulkan anggaran dana milik rakyat sebesar Rp 50 M hanya untuk acara pelantikan seorang Malik Mahmud yang telah diangkat menjadi pemangku Wali Nanggroe Aceh. Padahal, dulunya Pemerintah Zikir sendiri, semasa berkampanye pernah mengeluarkan janji politiknya “jika kami terpilih sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur Aceh, maka rakyat Aceh akan diberikan uang sebesar 1 Juta per/KK setiap bulannya”.
Janji hanyalah tinggal janji, rasanya rakyat kembali tertipu oleh gombalan para penguasa yang berkuasa ditanah peninggal Sultan Iskandar Muda. Rakyat sekarang ini hanya bisa menyaksikan sinetron live kehidupan mewah para penguasa yang berfoya-foya dengan dana rakyat. Janji 1 Juta/KK realisasinya hanyalah selembar bendera Bintang Bulan.
Lihatlah bagaimana kemegahan bangunan istana Wali Nanggroe yang menghabiskan dana lebih kurang sebesar Rp 36 Miliyar, lihat juga perjalanan dinas dalam dan luar Negeri para Penguasa dan Wakil Rakyat, belum lagi studi banding keluar Negeri yang sama sekali tidak ada faedahnya bagi kepentingan dan kesahteraan rakyat.
Rasanya hari ini rakyat Aceh kembali ditipu dan di zhalimi untuk kesekian kalinya oleh para penguasa yang tidak bertanggung jawab. Dulu, sewaktu kolonialisme Belanda menguasai Tanah Rencong, rakyat Aceh ditipu oleh kaum imperialis Belanda, sedangkan sewaktu konflik antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan pemerintah Republik Indonesia (RI), rakyat ditipu oleh Pemerintah Pusat, tetapi yang lebih menyakitkan hari ini bangsa Aceh kembali ditipu oleh bangsanya sendiri, yaitu mereka yang sekarang sedang duduk di kursi Eksekutif dan Legeslatif dari tingkat Daerah hingga Kabupaten-kota.
Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) tidak seharusnya mengusulkan anggaran dana segitu besar hanya untuk pengukuhkan seorang Malik Mahmud sebagai Wali Nanggroe Aceh, sedangkan posisi Malik Mahmud sendiri sebagai Wali Nanggroe masih diperdebatkan oleh sebagian kelompok di Aceh.
Dengan usulan dana sebesar itu, rakyat dapat apa? apakah alasan DPRA mengusulkan anggara itu hanya untuk mengangkat harkat, derajat dan martabat Bangsa Aceh dimata dunia? Alasan tersebut sama sekali tidak logis, merujuk pada pelantikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono atau yang akrab disapa SBY, pada tahun 2009 hanya menghabiskan dana sebesar Rp 300 Juta, sedangkan pelantikan Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta Jokowi-Ahok pada tahun 2012 lalu, hanya menghabiskan biaya sebesar Rp 500 Juta. Berarti mau dibawa kemanakah Rp 50 Miliyar?
Untuk mengangkat harkat, derajat dan martabat Bangsa Aceh, bukanlah dengan cara mengeluarkan dana sebesar Rp 50 Miliyar sekedar untuk melakukan acara seremonial semata, seperti melaksanakan acara kenduri (pesta) tujuh hari tujuh malam, dan mengundang para tamu-tamu kehormatan dari dalam dan luar Negeri.
Rakyat  Aceh tidak membutuhkan pesta akbar, rakyat tidak membutuhkan kedatangan tamu-tamu Agung dari dalam dan luar Negeri, yang dibutuhkan rakyat sekarang hanyalah kesejahteraan dan kenyamanan dalam menjalani kehidupan keseharian.
Cobalah pemerintah bersikap arif dan bijak dalam hal ini, kalaupun pemerintah Aceh ingin mengangkat harkat, derajat dan martabat bangsa Aceh di mata dunia. Bukanlah dengan cara seperti itu, alokasikanlah anggaran sebesar itu kepada generasi muda Aceh yang ingin melanjuti pendidikan, baik didalam maupun diluar Negeri yang sesuai dengan bidang dan keahlian yang dibutuhkan Aceh hari ini, hingga nantinya harkat, derajat dan martabat bangsa Aceh tidak perlu dinaikkan-naikkan, secara otomatis harkat, derajat dan martabat bangsa Aceh terangkat dengan sendirinya oleh sebab kecerdasan generasi muda bangsa Aceh itu sendiri.
Selain itu dana tersebut seharusnya juga dapat dialokasikan untuk membangun struktur dan infrastruktur yang selama ini belum memadai, seperti halnya pembangunan jalan di daerah-daerah terpencil yang masih susah ditembusi, membangun rumah kaum dhuafa, membangun rumah fakir miskin, rumah masyarakat korban konflik dan program lainnya yang bersifat pro-rakyat, bukanya menyakiti dan mencabik-cabik hati rakyat.
***Artikel ini telah dipublikasi pada kolom Opini web AJNN, http://www.ajnn.net/2013/10/menyoal-biaya-pelantikan-wali-nanggroe/

Aceh 'Kagura'

Oleh : Zahrul Fadhi Johan

KAGURA, kata ini sangat tepat untuk menggambarkan bagaimana kondisi sosial-politik Aceh hari ini. Lebih kurang 30 tahun lamanya Aceh bertikai dengan Pusat. Pada 15 Agustus 2005 menjadi hari yang sakral terjadinya perjanjian damai antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan Republik Indonesia (RI), rakyat telah menaruh harapan besar atas perdamaian tersebut. 

Rasanya konflik telah menjadikan rakyat Aceh patah arang, jenuh atas penderitaan dan kesengsaraan. Di sebalik itu, hanya sebagian kecil atau kelompok-kelompok tertentu yang merasa diuntungkan oleh kondisi tersebut. Setelah perdamaian, masyarakat merasa lega dan leluasa untuk melakukan segala aktifitas keseharian, tetapi pil pahit dan rasa traumatik masih membekas dalam diri masyarakat.

Setelah damai, Aceh ibarat bayi yang baru lahir dari rahim ibunya. Masyarakat Serambi Mekkah kembali merekonstruksi tatanan sosial, struktur budaya yang telah pudar, perekonomian carut-marut, pendidikan tertinggal jauh dengan daerah lain. Padahal, Aceh pada era 1496-1903 dikenal sebagai ladang ilmu pengetahuan, memiliki pemerintahan yang teratur dan sistematik, menjalin hubungan diplomatik dengan negara lain, mengembangkan pola dan sistem pendidikan militer untuk menentang imperialisme bangsa Eropa, Aceh juga dijadikan sebagai kiblat ilmu agama di Nusantara. 

Delapan tahunan perdamaian sudah berlalu, sekarang masyarakat mulai merasa getar-getir dengan kondisi suhu politik yang tidak stabil. Muncul beberapa kelompok yang merasa bahwa Aceh adalah milik mereka, sehingga sumbu-sumbu konflik mulai dihidupkan kembali.

Senin, 2 April 2013 seribuan masyarakat Aceh dari berbagai kabupaten/kota datang ke Banda Aceh untuk melakukan konvoi mengelilingi kota Banda Aceh dan melakukan aksi pengibaran Bendera Bulan Bintang di Gedung DPRA. Massa juga menuntut kepada Pemerintah Pusat melalui Mendagri untuk mensahkan Qanun Bendera dan Lambang Aceh yang telah ditandatangani oleh Gubernur Aceh pada 25 Maret 2013. 

Besoknya, sebagian kecil masyarakat di Aceh Barat membagikan 1.000 lembar Bendera Merah Putih, aksi tersebut menandakan bahwa sikap resistensi terhadap bendera dan lambang yang telah disahkan dalam Qanun No.3 Tahun 2013 oleh Gubernur dengan alasan bendera dan lambang tersebut adalah milik GAM dan tidak merepresentasikan masyarakat Aceh secara menyeluruh. 

Resistensi lain dilakukan oleh sebagian masyarakat yang mengatasnamakan perwakilan dari masyarakat dataran tinggi Gayo pada Kamis 4 April 2013, mereka melakukan aksi pembakaran bendera Bulan Bintang dan menyanyikan lagu Indonesia Raya sambil mengusung Bendera Merah Putih di kota Takengon dan Benar Meriah. Mereka juga menuntut apabila Qanun Bendera dan Lambang Aceh disahkan seperti lambang GAM oleh Pemerintah Pusat maka mereka akan menuntut pemisahan diri dari provinsi Aceh.

Relasi obyektif
Bendera dan lambang merupakan arena produksi dan sirkulasi barang-barang simbolis yang didefinisikan oleh Pierre Bourdieu (2010:141) sebagai sistem relasi obyektif sebuah instansi secara fungsional berperan dalam pembagian produksi, reproduksi dan penyebaran barang-barang simbolis. 

Struktur arena itu muncul akibat oposisi antara arena produksi terbatas sebagai sistem yang memproduksikan barang-barang kultural yang secara obyektif ditujukan kepada publik produsen barang kultural skala besar, khususnya didasarkan pada sebuah pandangan produsennya bahwa produksi barang-barang kultural bisa dinikmati oleh publik luas yang bertujuan untuk dapat memperoleh pengakuan dari kelompok sesama dan para pesaing. 

Dalam hal ini, Bendera dan Lambang Aceh adalah sebuah simbol penunjukkan jati diri keacehan untuk mendapatkan legitimasi dari pihak lain; Bahwa, Aceh pernah menjadi sebuah negara berdaulat sebelum Tengku Daud Beureueh menyatakan Aceh bergabung dengan Indonesia saat proklamasi kemerdekaan 1945, dan pernah mengalami masa kejayaan pada masa Sultan Iskandar Muda (1607-1636). 

Bendera dan Lambang juga dianggap sebagai pemersatu semua etnis yang ada di Aceh. Jika melihat kondisi Aceh hari ini, tanda tanya besar timbul di benak kita. Apa makna sebuah simbol jika terjadi perpecahan di Aceh? Bukankah satu tujuan dari perjuangan GAM saat itu adalah ingin menjadikan Aceh sebagai negara berdaulat tanpa adanya perpecahan? 

Jika perjuangan yang menghabiskan waktu selama 30 tahun hanya sekedar melegalkan sebuah simbol dan lambang untuk euforia semata, berarti Aceh tidak beda dengan provinsi lain di Indonesia. Seperti halnya Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) yang juga memiliki Bendera Kesultanan. Begitu pula daerah Ternate yang memiliki lebih dari satu bendera, yaitu Bendera Kesultanan Ternate dan Bendera Rakyat Ternate. Kedua daerah tersebut tidak pernah melakukan perlawanan untuk menuntut merdeka dari Pemerintah Pusat, tetapi Yogyakarta dan Ternate memiliki simbol kebanggaan sendiri tanpa ada pro-kontra rakyatnya.

Alangkah indahnya kalau hari ini rakyat Aceh dapat merasakan kemerdekaan setelah apa yang telah diperjuangkan oleh para pendahulu, yang telah mengorbankan nyawa dan harta mereka demi mewujudkan Aceh yang bermartabat di mata Pusat. Merdeka bukan hanya berarti pemisahan diri dari sebuah negara untuk membentuk negara berdaulat. 

Kemerdekaan bisa dimaknai sebagai tindakan kebebasan berfikir, kebebasan berkehendak tanpa ada kotomi khusus dari kelompok-kelompok tertentu yang hanya mementingkan kepentingan kelompoknya dengan mengatasnamakan kepentingan rakyat. Apa makna sebuah perjuangan jika pada ujungnya rakyat tidak mendapatkan kesejahteraan?

 Hilangkan egoisme
Jika hari ini kemerdekaan yang seperti itu tidak dapat dirasakan oleh seluruh rakyat Aceh. Maka sekaranglah saatnya rakyat kembali bersatu untuk melawan segala kezaliman yang mereka lakukan terhadap rakyat. Rakyat bosan dengan segala penindasan dan intimidasi dari berbagai lini, berikanlah ruang kepada rakyat untuk bisa menjalankan segala aktivitas secara normal. 

Marilah sekarang sama-sama kita menghilangkan sikap egoisme dan sinisme antara satu sama lain. Aceh adalah milik seluruh rakyat yang bermukim di tanah Serambi Mekkah dari barat, timur, utara, selatan, tengah, dan tenggara, karna Aceh bukan hanya milik segelintir orang. Kalaupun ada kebijakan-kebijakan yang dapat memicu konflik untuk memecah belah bangsa Aceh dan ada pihak-pihak lain yang coba mengusik perdamaian di Aceh, sebaiknya pemerintah sesegera mungkin meredamnya agar semua kepentingan terakomodir dengan baik.

Untuk mengembalikan kedaulatan dan kejayaan Aceh, seperti halnya Hong Kong saat ini yang secara konstitusi masih di bawah kekuasaan Republik Rakyat Cina, tetapi negara tersebut dapat melakukan hubungan diplomatik dan bilateral dengan negara lain. Seharusnya pemerintah Aceh dapat mengambil contoh pola dan sistem yang dilakukan oleh Hong Kong. 

Permerintah juga harus melakukan pemberdayaan sumber daya manusia (SDM) lokal sesuai dengan kebutuhan pasar untuk dapat mengembangkan sumber daya alam (SDA) yang ada di bumi Iskandar Muda ini. Pemberdayaan yang dilakukan pastinya tanpa adanya praktik korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) di dalamnya agar rakyat bisa makmur dan sejahtera.

***Artikel ini telah dipublikasi pada kolom Opini Surat Kabar Serambi Indonesia (Senin, 8 April 2013). http://aceh.tribunnews.com/2013/04/08/aceh-kagura

Monday, 16 September 2013

HIMPASAY ber-Family Day

http://arulzorro.blogspot.co.id/

HIMPASAY (Himpunan Mahasiswa Pascasarjana Aceh-Yogyakarta) adalah sebuah wadah perkumpulan para mahasiswa Aceh yang sedang menempuh pendidikan di Yogyakarta. Pada hari minggu 15/09/2013, Himpasay melaksanakan acara Family Day bertempat di pantai Parangtritis Yogyakarta.

Acara tersebut dihadiri oleh 34 mahasiswa Pascasarjana dari Aceh yang kuliah di berbagai kampus di yogyakarta, seperti kampus Universitas Gadjah Mada (UGM), Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga (UIN SUKA), Universitas Islam Indonesia (UII), Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) dan kampus lainnya yang ada di Jogjakarta.

Dari 34 mahasiswa yang hadir, 23 diantaranya merupakan mahasiswa baru tahun akademik 2013-2014, sedangkan selebihnya adalah mahasiswa lama yang sedang menyelesaikan studi.

Pada dasarnya jumlah mahasiswa pascasarjana Aceh di Yogyakarta yang masih aktif, dan sedang mengambil gelar Master maupun gelar Doktoral, berjumlah lebih dari 100 orang yang terdata. Terkadang karena kendala dengan jadwal kuliah dan kesibukan lainnya, maka masih banyak warga Himpasay yang tidak bisa menghadiri acara tersebut.

Ramzi Murzikin selaku ketua Himpasay, mengungkapkan bahwa; acara Famili Day merupakan ajang untuk merajut ukhwah dan menjalin silaturrahmi sesama mahasiswa pascasarjana yang menempuh pendidikan di Jogja,

Acara ini juga bertujuan untuk memperkenalkan Himpasay kepada para mahasiswa baru, acara seperti ini dilakukan setiap tahun, pada tahun sebelumnya juga pernah dilakukan oleh pengurus Himpasay periode sebelum saya, ungkap ramzi.

Himpasay bukan hanya wadah atau organisasi perkumpulan semata, Himpasay juga sering melakukan berbagai kegiatan, baik itu berupa kegiatan yang bersifat akademisi, agama, olah-raga, serta sosial dan budaya, semisal diskusi rutin, seminar, menerbitkan buku yang ditulis oleh warga Himpasay, memperingati hari-hari besar islam, olah raga bersama dan lain sebagainya.

Dalam hal lainnya Himpasay juga tidak menutup diri, Himpasay  selalu coba membantu para mahasiswa yang ingin melanjutkan kuliah di Jogja dan membantu para mahasiswa yang terkendala dalam perkulihan. Bagi siapa saja orang Aceh yang ingin melanjutkan kuliah di Yogyakarta, maka anda bisa langsung menghubungi pengurus Himpasay.  **

Aceh, Antara Feminisme dan Sadisme Seksual

Senin, 16 September 2013

http://arulzorro.blogspot.co.id/

Oleh: Zahrul Fadhi Johan

Perempuan ibarat sebuah magnet yang memiliki daya tarik tersendiri untuk diperbincangkan. Feminisme bukanlah sebuah isu baru, baik di dunia Barat maupun Timur. Kajian feminisme memberikan ruang pada perempuan untuk menunjukkan sikap resistensi dan eksistensinya terhadap kaum laki-laki.

Dalam hal tersebut praktik patriarkhi merupakan alasan kaum perempuan. Perempuan dianggap inferior dan lelaki menganggap dirinya lebih superior dibanding perempuan.
Meminjam istillah Najmah dan Sa’di (2003:34), feminisme adalah suatu kesadaran akan penindasan dan ekploitasi terhadap perempuan, baik dalam keluarga, di tempat kerja maupun di masyarakat serta adanya tindakan sadar akan laki-laki maupun perempuan untuk mengubah keadaan tersebut secara leksikal.

Kesadaran feminisme bertujuan untuk membongkar kekuasaan dan batas-batas pembagian kekuasaan. Kekuasaan yang dimaksud adalah penggolongan kelas atau status berdasarkan jenis kelamin (genderisasi). Dalam kajian feminis lebih menekankan sifat opresif (sifat yang keras) dan relasi gender.

Huda Sha Rawi dan Nabawiyah Musa merupakan dua tokoh perempuan Mesir dan juga sebagai pelopor feminisme dunia Timur khususnya bangsa Arab era 1879-1900. Keduanya memberikan pandangannya, bahwa perempuan harus belajar tentang apa artinya menjadi perempuan dan cara-cara perempuan bereaksi untuk merekonstruksi kembali peranannya.
Kaum perempuan Arab saat itu sangat dikekang oleh budaya patriarki. Perempuan tidak boleh mendapatkan pendidikan melebihi lelaki, apalagi menduduki sebuah jabatan di sebuah lembaga atau institusi tertentu.

Perempuan juga tidak dibolehkan meninggalkan rumah. Jikapun keluar dari rumah mereka harus menjaga kesopanan dengan menutup rambut dan wajah. Keterbatasan itulah yang diperjuangkan oleh kedua perempuan ini.

Berbeda halnya dengan kaum perempuan di Aceh, kebanyakan mereka lebih superior dibandingkan lelaki. Seperti halnya Laksamana Malahayati. Ia seorang perempuan yang sanggup memimpin 2.000 pasukan Inoeng Balee (janda-janda pahlawan yang telah gugur di medan tempur) untuk bertempur melawan kapal-kapal dan benteng-benteng Belanda (11/9/1599).

Dan dalam pertempuran itu beliau berhasil membunuh Cornelis de Houtman dalam duel satu lawan satu. Dengan keberanian dan keperkasaanya wanita yang bernama lengkap Keumalahayati ini diberi gelar Laksamana Malahayati.

Perempuan Aceh lainnya adalah Cut Nyak Dhien. Beliau perempuan yang gagah perkasa, sangat disegani oleh kawan dan ditakuti lawan. Cut Nyak Dhien dilahirkan dikalangan bangsawan, oleh orang tua dan gurunya ia dididik dan dibekali ilmu agama. Pada 8 April 1973 pasukan Belanda dibawah pimpinan Kohler berhasil memasuki dan membakar Mesjid Raya Baiturrarahman.

Di sanalah Cut Nyak Dien berteriak “wahai orang-orang Aceh, tempat ibadah kita dirusak, mereka telah mencoreng nama Allah! Sampai kapan kita begini? Sampai kapan kita akan menjadi budak? Semangat itulah yang membuat Kohler tewas dalam pertempuran itu dan setelah itulah ia mulai memimpin perang melawan kafir Belanda.

Selain dari kedua perempuan itu masih banyak perempuan Aceh yang tangguh dan perkasa. Seperti halnya Ratu Safiatuddin, perempuan pertama yang menjadi pemimpin di kerajaan Aceh. Cut Mutia, seorang perempuan yang berjuang bersama suaminya Teuku Muhammad, setelah suaminya meninggal beliau menikah lagi dengan sahabat dekat suaminya yaitu Pang Nanggroe, kemudian beliau kembali berjuang sampai gugur di medan perang.

Ketangguhan dan keperkasaan perempuan-perempuan Aceh tersebut, mengindikasikan bahwa perempuan-perempuan Aceh telah menunjukkan sikap eksistensi dan resistensinya terhadap kaum laki-laki. Mereka tidak pernah menuntut dan menyuarakan persamaan kelas dan gender. Jika ditinjau dari sisi feminisme, perempuan-perempuan tersebut layak dijadikan sebagai pelopor dan tokoh feminis di Nusantara.

Apa yang terjadi di Aceh hari ini telah berbanding terbalik dengan zaman sebelumnya. Krisis moral dan pengaruh modernisasi telah merusak generasi muda Aceh. Fenomena diskriminatif terhadap perempuan sering sekali terjadi.

Beberapa bulan lalu, Selasa, 19 Maret 2013, Aceh digemparkan oleh kasus pemerkosaan dan mutilasi terhadap Diana, bocah perempuan berusia 6 tahun dan pelakunya itu adalah paman kandungnya sendiri.

Sebelumnya, Sabtu, 16 Maret 2013, seorang gadis remaja perempuan berumur 14 tahun yang masih duduk di bangku kelas II SMP di Kabupaten Bireuen juga menjadi sasaran empuk pemerkosaan oleh empat orang lelaki secara bergantian.

Kedua kasus tersebut telah mencoreng wajah Negeri Syariah. Belum lagi kita kembali ke masa lalu, ketika daerah operasi militer (DOM) diterapkan di Aceh (1989-1998). Berapa banyak perempuan Aceh saat itu diperkosa dan dibunuh di Rumuh Gedong oleh oknum militer yang tidak bertanggung jawab?

Sadisme seksualitas yang dilakukan oleh pelaku terhadap korban merupakan tindakan kebiadaban dan amoral. Hal ini disebabkan karena budaya dominasi laki-laki terhadap perempuan sangat kental. Para pelaku sadisme seksualitas ini memanfaatkan sifat superiornya terhadap inferioritas kaum perempuan.

Di sisi lain, perempuan dihadirkan Tuhan untuk menjadi patner bagi lelaki. Dengannya, lelaki diharapkan untuk melakukan dialog dalam mengembangkan keturunannya.

Dalam konteks Aceh tersebut, wacana feminisme tampaknya perlu dikaji dan dianalisis lebih mendalam. Sebab, nilai historis dari sisi feminisitas sangat kental di Nanggro Aceh Darussalam. Wallahu A’lam. (*).

tulisan ini telah dipublikasi di web http://www.santrinews.com/Budaya/Esai/604/-Aceh-Antara-Feminisme-dan-Sadisme-Seksual minggu 01/09/13.

Tuesday, 30 July 2013

RUANG NASIONALISME DALAM PUISI “Kita Adalah Pemilik Sah Negeri Ini”

oleh : Zahrul Fadhi Johan

Kita Adalah Pemilik Sah Negeri Ini

Tidak ada lagi pilihan lain. Kita harus
Berjalan terus
Karena berhenti atau mundur
Berarti hancur

Apakah akan kita jual keyakinan kita
Dalam pengabdian tanpa harga
Akan maukah kita duduk satu meja
Dengan para pembunuh tahun yang lalu
Dalam setiap kalimat yang berakhiran :
“Duli Tuanku”?

Tidak ada lagi pilihan lain. Kita harus
Berjalan terus
Kita adalah manusia bermata kuyu, yang ditepi jalan
Mengacungkan tangan untuk oplet dan bus yang penuh
Kita adalah berpuluh juta yang bertahun hidup sengsara

Dipukul banjir, gunung api, kutuk dan hama
Dan bertanya-tanya diam inikah yang namanya merdeka
Kita yang tak punya kepentingan dengan seribu slogan
Dan seribu pengeras suara yang hampa suara.
Tidak ada lagi pilihan lain. Kita harus
terus berjalan.

(Tirani, 1966).

Sastra dipandang memiliki kekuatan sebagai bentuk hegemoni kekuasaan, bahkan sebaliknya, sastra dianggap sebagai konter hegemoni. Kajian poskolonial berusaha membongkar seluk beluk praktek kolonialisme dalam sebuah kekuasaan. Melalui karya sastra seseorang dapat mengekpresikan emosionalnya dan melalui karya sastralah hal tersebut dapat diungkapkan.

Puisi ini merupakan puisi karangan Taufik Ismail. Taufik Ismail merupakan salah satu pujangga periode 1960-1980. Lahir di Bukit tinggi, 25 Juni 1937 dan dibesarkan di Pekalongan. Ia dikenal sebagai penyair yang menentang pemerintahan Orde Lama dan ikut terlibat secara aktif dalam pergerakan mahasiswa dalam meruntuhkan kekuasaan orde lama tahun 1966.

Puisi yang berjudul “kita adalah pemilik sah negeri ini” mencoba merepresentasikan /kita/ adalah rakyat yang memiliki ruang sebagai pemilik sah negara ini, yaitu Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Penyair ingin menyampaikan kepada rakyat Indonesia, agar menyadari apa yang dilakukan bertahun-tahun oleh penguasa merupakan sebuah bentuk kolonisasi dalam bentuk ruang nasionalis, dengan cara menjadikan hasil alam negeri ini sebagai pemilik segelincir penguasa. Sehingga dengan leluasanya, para penguasa bebas melakukan apa saja. Termasuk mengekploitasi hasil alam yang ada.

Bait pertama dengan lantang penyair mangatakan, /tidak ada lagi pilihan lain/ kita harus /berjalan terus/ karena berhenti atau mundur/ berarti hancur/. Disinilah penyair menyatakan bahwa tidak ada alasan mundur untuk berjuang memperebutkan kembali ruang kekuasaan yang dominasi oleh para penguasa. Jika mundur, maka ruang tersebut itu akan hilang.

/Apakah akan kita jual kayakinan kita/ dalam pengabdian tanpa harga/. Penyair mengingatkan bahwa jangan sampai kita rela menjual idealisme dan rasa nasionalisme terhadap penguasa yang tidak mementingkan kepentingan rakyatnya. Dan rakyat tidak boleh terjebak dengan para /pembunuh/ pembunuh yang dimaksud adalah penguasa yang otoriter, bertindak semaunya saja tanpa ada kompromi dengan rakyaknya, karna dalam hal ini rakyat dianggab bodoh (Duli Tuanku). Dalam hal ini ruang yang dimiliki oleh penguasa, menempatkan posisi pemimpin bebas melakukan apa saja terhadap rakyat, sehingga bagi penguasa ruang tersebut tidak berhak di miliki oleh rakyat.

Penyair kembali mengulangi kata-kata /tidak ada lagi pilihan lain/ Kita harus/ berjalan terus/, ini menandakan bahwa rakyat sudah lama menderita karena dijajah oleh pemimpin bangsa sendiri. Penyair merasa bahwa sudah saatnya rakyat terbebas dari ruang kekuasaan kolonial, baik kolonial  Belanda maupun kolonial penguasa Negeri saat itu. /yang di tepi jalan mengacungkan tangan untuk oplet dan bus yang penuh/ kita adalah berpuluh juta yang bertahun hidup sengsara/, rakyat adalah rakyat, mereka bukan penguasa dan selalu tereliminasi dalam ruang sebuah bangsa. Rakyat tidak pernah menikmati hasil pembangunan yang dibangun di dalam Negeri.

Sepertinya rakyat tidak tahan dengan kondisi Negerinya yang selalu dilumuti oleh bencana seperti, banjir, meletusnya gunung api, kutukan, hama diberbagai tanaman dan tumbuh-tumbuhan. Penyair menyinggung terhadap status kemerdekaan Negera ini, dalam hal ini juga bisa dikatakan bahwa, sama halnya penyair mempertanyakan dimana ruang dan status nasionalisme para penguasa terhadap bangsa yang dipimpinnya. Bahkan dalam kalimat /kita yang tak punya kepentingan dengan seribu slogan/ /dan seribu pengeras suara yang hampa suara/, penyair menkritik pidato-pidatonya pemimpin yang tidak berisi dan tidak bermamfaat untuk rakyat. Pemimpin yang dimaksud oleh penyair adalah pemimpin masa orde lama yaitu presiden Soekarno.


Di bait terakhir penyair mengajak rakyat yang memiliki sikap nasionalisme agar tidak ragu-ragu dan acuh tak acuh untuk melawan dan merebut kembali ruang kekuasaan yang di pegang oleh pemimpin Negeri ini. Dapat disimpulkan bahwa ruang nasionalis seorang penguasa negeri ini hanya dijadikan sebagai alat untuk kepentingan pribadi, keluarga dan para koleganya. Sehingga penyair mengajak rakyat untuk melawan dan terus melawan agar ruang tersebut dapat direbut kembali.